Ketika Ilmu Alam tak Sejajar Lagi dengan Ilmu Sosial

 Tidak ada Keseimbangan, hancur sudah...

“Tidak ada keseimbangan. Hancur sudah..”

Tempo hari, saya mengunjungi sebuah artikel mengenai kegalauan seorang teman, yang kebetulan tengah gusar akan kesenjangan dunia anak – anak Ilmu Alam terhadap Ilmu Sosial. Yang saya tahu, dia tidak meniliknya dari segi pertemanan, karena, toh, saya sendiri adalah Anak kelas XI Ilmu Sosial yang ternyata memiliki segudang koneksi menuju dunia Ilmu Alam.

Ya, memang bukan itu masalahnya.

Terlepas dari julukan aneh – aneh yang disodorkan kepada masing – masing jurusan, (Misalnya Bau Rumus untuk anak – anak IPA dan Bau Candi untuk anak – anak IPS) kesulitan akan masa depan sudah menjadi masalah klasik yang dihadapi segenap anak – anak Sekolah Menengah Atas.

Selama ini, pemilihan jurusan IPA dan IPS cenderung tidak seimbang. Kalau mau jujur, Departemen Pendidikan ini masih harus banyak belajar teori keseimbangan. Masa Anak – anak IPA hidupnya bisa lebih terjamin ? Kenapa tidak sekalian saja dibuat satu jurusan ? Masa depan anak IPS kok lebih suram daripada IPA, bisa dapat koneksi lebih banyak daripada anak IPA ? Dan sebagainya.

Tentunya ini menjadi kegusaran saya juga, ketika dominasi anak – anak IPA menjajah kehidupan IPS, anak – anak bau candi seperti ini tidak bisa bertahan lama di strata sosial yang lebih tinggi. Saya tidak mau kalau nanti strata kelas atas diduduki oleh anak – anak keluaran Ilmu Alam.

Setidaknya, masalah tidak berakhir sampai situ.

Sebagaimana anda tahu apabila keadaan saat ini, anak – anak IPA lebih bisa memasuki dunia IPS seenak jidat. Dalam artian, memasuki lahan anak – anak IPS soal pekerjaan menjadi akuntan karena tidak ada pekerjaan yang cocok untuknya semasa hidup menggeluti Kimia dan Fisika. Di saat yang sama, tidak ada anak – anak IPS yang bisa menjadi seorang Fisikawan ? Bagaimana ini ?

Terlebih lagi dalam hal prestise. Tak ubahnya dengan memasuki sekolah ternama, kelas Ilmu Alam saat ini seperti emas ilmu pengetahuan. Kesannya, Fisika seperti didewakan. Kimia bisa menjadi raja, Biologi juga mendapat kursi yang pantas di mata anak – anak kelas X, ketika mereka hendak memilih jurusan. Sedangkan bidang mata pelajaran Ekonomi, Sosiologi dan Geografi malah dinomorduakan. Gara – gara mayoritas calon anak IPA tidak akan mempelajari hal ini di masa yang akan datang (Mentang – mentang orang yang akan bergelut dengan ini hanya anak – anak Ilmu Sosial :evil:).

Apalagi, kesan IPS sudah menjadi negatif. Ya, harusnya anda sadar diri juga, dong. IPS itu bukan berarti anak – anaknya berandalan semua. Bukan anak – anak daripada geng motor jalanan. Bukan berarti anak – anak Sosial itu berotak bebal semua. Yang saya kesalkan, ternyata sampai guru pun beranggapan seperti itu !

Tatkala anak – anak IPA mendapat prioritas belajar sampai jam pelajaran terakhir, anak – anak kelas sosial malah pergi entah kemana gara – gara sang guru yang mendewa itu tidak nongol. 👿 Kalau anda mau tahu, saya akan sebutkan siapa saja anak – anak IPA yang diduga menggeluti dunia kriminal. Untuk apa saya berbuat seperti itu ? Untuk meyakinkan anda – anda, wahai para pejabat. Anak IPA juga ada yang jahat. Jangan melimpahkan stigma negatif kepada anak – anak kelas Sosial. Malah kebanyakan lebih parah. Anak IPA bukan dewa dan Anak IPS bukan juga kerbau.

Bisa jadi, karena kondisi – kondisi semacam di atas, anak – anak IPA lebih bisa diterima di tempat – tempat bermartabat tinggi, seperti ITB. Sementara anak – anak IPS lebih sulit untuk masuk kesana karena jurusannya tidak dapat diraih oleh kelas Sosial biasa.

Padahal kalau melihat kebenaran sekali lagi, ada orang IPS yang sebetulnya pintar pada pelajaran – pelajaran berhitung dan rumus, tetapi karena dia tidak bisa menaruh harapan pada ijazah dan statusnya sebagai cecurut di kelas IPS, maka dia harus mengubur harapannya berada di bidang studi seperti IT dan Programming. Mengapa sistematika pendidikan tidak adil seperti itu ?

Mengapa saya mengatakan hal seperti ini ? Karena, saya ulangi, anak – anak IPA mendapat kebebasan untuk belajar dan bernaung diantara bidang – bidang yang seharusnya hanya digeluti orang – orang IPS. Orang IPA bisa menjadi akuntan, mengapa orang IPS tidak bisa menjadi Programmer IT ? Kalau bisa, akses semacam itu juga diberlakukan untuk anak – anak kelas Ilmu Sosial, karena di mata Tuhan, orang seperti saya juga manusia.

Nah, untuk orang – orang yang berusaha di balik dunia pendidikan, saya sudah memberikan satu lagi pekerjaan rumah, selain memberantas usaha percontekan di masa Ujian Nasional, serta kebijakan UN sebagai penentu hasil kelulusan (yang memble itu), saya rasa kalian juga harus mulai memperhatikan kehidupan kami yang tidak bisa ditentukan hanya dengan nilai dan kedudukan. 😀

63 Tanggapan

  1. afaik anak2 ips bisa masuk itb koq, Seni Rupa ama SBM 😛

  2. Deb..kamu nyesel masuk sosial ato gimana ? udah tau sistem pendidikan di indo tuh ya kayak begini .. harusnya dirimu ngerti donk konsekuensinya begimana bgituh..

  3. pertamax(kah?)

    Masih mending IPS, anak-anak jurusan bahasa reputasinya bisa lebih buruk lagi 👿 . Meskipun begitu, tetap saja saya jengkel setiap kali warga IPS dibilang ‘warga kelas dua’. Enak aja dibilang anak kelas bawah. Padahal, sebenarnya kalau diteliti lebih jauh, di IPS sebenarnya lebih sulit (nyadar, ngga?)

    Dan patut dicamkan. Migrasi-nya anak-anak IPA ke IPS (maksudnya pas kuliah/kerja di bidang IPS) inilah yang sebenarnya secara nggak langsung bikin jumlah pengangguran nambah. Pada sadar nggak sih kalau itu secara nggak langsung bikin apa yang kita pelajari jadi sia-sia?!

    Yang sebenarnya bikin saya tambah sebal karena gurunya juga kesannya ‘meremehkan’ anak IPS. Lihat saja, ya, saya punya bukti kalau di sekolah saya anak-anak IPA nggak kalah bobroknya 👿 *ngamuk*

  4. hahaha…saya anak IPS dan saya malah senang masuk IPS karena bisa pulang lebih cepat dari anak IPA huehehehe… 😆

    saya masih inget ketika joged-joged di depan kelas IPA tatkala kelas IPS udah bubar, sedangkan IPA masih berkutat dengan rumus-rumusnya. ah…itu masa SMA yang menyenangkan. tapi entah kenapa anak IPS kok sering diremehkan ya?? 😕

  5. @ Luthfi

    Kebetulan itu adalah jalur yang saya pilih. 😀

    @ chielicious

    Hanya kesal IPS dinomorduakan. 😕

    @ Cynanthia

    Sayang sekali tidak. 😆

    Lucunya, anak IPA bisa pindah ke IPS, di saat yang sama, IPS tidak memungkinkan perpindahan posisi ke IPA. 😕

  6. @ cK

    Lho, saya juga IPS. :mrgreen:

    Saya lebih senang dengan IPS karena dengan begitu saya bisa menghindar dari Kimia yang memang terkenal dengan rumus bejibun. 😆

  7. Klo masalah kerjaan sieh sebenernya pinter2 nya kalian aja lah.. klo emang mau kerjanya di bidang IT ya kenapa masuk sosial yang gak belajar logika matematika.. ini masalah strategi aja sieh klo menurut gue

    Deb..yang kesel bukan kamu aja..udah gak usah dipikirin.. gak penting banget inihh mendingan belajar yang giat biar bisa masup ITB.. 😛

  8. @D.B.:
    Hihihi, Kimia… emang serem sih rumusnya.

    Apa kita perlu teror tuh pemerintah supaya IPS diakui, ama biar anak IPA nggak migrasi ke IPS? 😕

    Tapi saya kira seringnya warga IPS diremehkan harusnya bisa bikin mental warga IPS jadi jauh lebih kuat, karena jadinya terpacu untuk membuktikan kalau anak IPS tuh nggak payah :mrgreen:

    *mengibarkan bendera anti-diskriminasi terhadap warga IPS*

  9. @cK:
    Ini semua gara-gara kita udah dicuci otak sama penjajah, yang mendoktrin kita bahwa eksakta (IPA) jauh lebih baik dari IPS, makanya bangsa kita bobrok karena kondisi sosialnya pada ancur 👿 . Padahal di luar negeri anak-anak IPS (khususnya hukum) tuh anak-anak top, lho 😛

  10. @ chielicious

    Iya, deh. Iya. 😀

    @ Cynanthia

    Sebetulnya sebelum mentalnya menguat, mereka dihadapi kenyataan bahwa mereka anak IPS. Maka dari itu mereka leha – leha. 😆

  11. Pendidikan di Indonesia. :mrgreen:

    Sebagaimana anda tahu apabila keadaan saat ini, anak – anak IPA lebih bisa memasuki dunia IPS seenak jidat.

    Kalau buat saya sih, secara personal, tidak merugikan. :mrgreen: Saya berdiri di jalur tengah (rencananya). Tapi yang saya heran, kemana sebenarnya orang-orang IPS? Waktu itu guru saya sempat “jalan-jalan” ke FISIP UI, sekedar melakukan survei singkat soal asal jurusan orang-orang disitu. 1 dari 5 orang menjawab IPS, dan selebihnya IPA. Nah, kemana anak IPS? Apa memang tidak bisa?

    Terlebih lagi dalam hal prestise.

    Kalau ini guru saya (orang yang sama) juga sempat membahasnya. Berikut kutipannya, yang sempat saya tulis di blognya mbak Cynanthia:

    “Kalau kamu ikut lomba fisika atau lomba matematika, mau menang atau ngga, kamu pasti dibilang pintar. Kalau kamu ikut lomba sosiologi, menang sekali pun, ngga ada yang peduli.”

    😕

    Apalagi, kesan IPS sudah menjadi negatif.

    Naah… kalau ini, mau tidak mau saya harus mengakui bahwa pada kenyataannya memang begitu. Tak usah yang jauh-jauh, ambil saja kasus bolos pelajaran. Pernah suatu ketika ada pelajaran tambahan (mengingat saya dan kawan-kawan sudah kelas XII) yang kebetulan hari itu tadi paginya habis ada semacam pekan olahraga (ngga tahu istilahnya 😛 ), jadi rata-rata pada capek.

    Nah. Ketika pelajaran tambahan dimulai, dari 4 kelas IPA, rata-rata 60% muridnya setiap kelas mengikuti pelajaran. Sementara dari 2 kelas IPS (yang notabene 1 kelas berisi 40 orang, sama kayak IPA), bahkan meskipun kelasnya sudah digabung sekali pun, jumlah peserta yang hadir ngga sampai 25%. Berarti dari 80 anak IPS, yang hadir hanya sekitar 1/4-nya. 😐

    Makanya saya ngga heran kalau sampai timbul stigma negatif. Soalnya kenyataannya memang begitu. Negatif.

  12. Di kampus saya, sewaktu hendak membayar uang SPP, saya yang dari International Relations department (tentu saja kajian Sosial) dikatakan elit oleh petugas loket.

    Memang, stereotype anak-anak International Relations department lebih elit dan bermartabat ketimbang anak-anak Fak. Teknologi Mineral (tentu saja kajian eksaksa; sains).

    Jadi semuanya dikembalikan kepada situasi, kondisi, dan faktor geografis serta lingkungan.

  13. hmm… *elus-elus jenggodh*
    untuk itulah keberadaan saudara Mihael ini dibutuhkan, tidak hanya sebagai felofor, tetafi juga femicu untuk munculnya anak-anak bau candi yang memiliki intelejensi lebih maju dan wawasan serta kekreatifitasan multi dimensional yang dapat meluluh lantakkan faradigma fara cecunguk laknadh yang seenaknya menjatuhkan kredibiltas kaum IPS. GANYANG IPA!!!!

    Fetuah by : Hoek Soegirang. Bajingan laknadh mantan fenghuni sel IPS.

  14. Betewe, selama 2 tahun terakhir ini saya juga merupakan orang yang ditarik masuk ke kelas Ilmu Pengetahuan Sosial (atau kalau dalam konteks kelas saya sih Ilmu Pengetahuan Santai). 😛

  15. @Hoek Soegirang:
    Walah, jangan sadis gitu dong, Pak. Emangnya anak IPA tuh orang Malaysia? (meskipun ada kesamaannya sih… seenaknya injek-injek orang lain) :mrgreen:

  16. Keraguan yang sama pernah saya alami saat masuk IPA,
    ingin sekali bisa sesantai anak IPS,
    Ingin sekali bisa lepas dari rumus, dan angka,
    Karena saya lebih senang logika dan sejarah 😀
    Tapi ternyata, baru terasa sekarang manfaatnya…
    dan jangan berkecil hati, karena pasti ada hikmah dibalik itu
    *maaf sepertinya omong kosong ya??*
    Semoga berkenan

  17. @ Xaliber von Reginhild

    Kalau buat saya sih, secara personal, tidak merugikan. Saya berdiri di jalur tengah (rencananya). Tapi yang saya heran, kemana sebenarnya orang-orang IPS? Waktu itu guru saya sempat “jalan-jalan” ke FISIP UI, sekedar melakukan survei singkat soal asal jurusan orang-orang disitu. 1 dari 5 orang menjawab IPS, dan selebihnya IPA. Nah, kemana anak IPS? Apa memang tidak bisa?

    Yang saya tahu, orang IPA kebanyakan mengambil kelas “kilat” untuk mengambil pekerjaannya dalam bidang sosial. Dan harus tahu, kalau keluaran Ilmu Alam memang lebih diterima daripada orang – orang Ilmu Sosial. Jadi, akan lebih mungkin apabila orang IPA banyak di luar sana.

    Kalau secara pribadi tidak merugikan, jelas dong. Situ anak IPA. :mrgreen:

    Nah. Ketika pelajaran tambahan dimulai, dari 4 kelas IPA, rata-rata 60% muridnya setiap kelas mengikuti pelajaran. Sementara dari 2 kelas IPS (yang notabene 1 kelas berisi 40 orang, sama kayak IPA), bahkan meskipun kelasnya sudah digabung sekali pun, jumlah peserta yang hadir ngga sampai 25%. Berarti dari 80 anak IPS, yang hadir hanya sekitar 1/4-nya.

    Makanya saya ngga heran kalau sampai timbul stigma negatif. Soalnya kenyataannya memang begitu. Negatif.

    Kalau saya tilik lagi, sebetulnya stigma negatif dan perilaku negatifnya sendiri datang karena cemoohan dan ejekan dari berbagai sudut. Makanya anak – anak IPS kadang nggak punya motivasi belajar. Guru saja ogah – ogahan begitu, bagaimana mereka (anak IPS) bisa maju ?

    Sehingga kembali lagi kepada sistematika pendidikan Indonesia. :mrgreen:

    @ rozenesia

    Bisa dibilang kalau lingkungan yang mempengaruhi stigma orang..

    ..Ah, itu sih jelas. 😕

    @ Hoek Soegirang

    Makanya, untuk sekarang ini, saya butuh koneksi untuk menyebarkan artikel ini kepada petinggi – petinggi departemen pendidikan. Harap – harap mau dibaca.

    Punya usul ? :p

    @ goop

    Saya tidak suka pelajaran IPA. Mengingat saya tidak terlalu kuat dan dekat dengan rumusnya. 😀

  18. Nah? silakan meninjau keluar .

    Yang dibutuhkan sekarang perbaikan image anak IPS . Bagaiaman caranya ? mungkin anak-anak IPS itu lebih tau. Kalaupun anak IPS dan IPA bisa fastabikhul khoirot maka mungkin tidak ada lagi kesenjangan diantara keduanya . IPS juga sebenarnya gak kalah sama anak IPS kalau Beberapa tingkah laku anak IPS yang tidak sepositif IPA yang mungkin perlu dihilangkan.

  19. Stigma negatif terhadap anak2 IPS itu bisa terjadi lantaran sebuah pencitraan yang diciptakan oleh masyarakat, Mas DB. Penjurusan semacam itu kayaknya nggak salah, biar anak2 bisa menekuni ilmu sesuai dengan potensi dan kecenderungan bakat2 alamiahnya. Sayangnya, hal itu sudah tereduksi oleh pemahaman masyarakat yang keliru. Ironisnya lagi, banyak orang tua yang memaksakan kehendak agar anaknya masuk ke IPA, meskipun sama sekali nggak punya potensi dan talenta ke sana. Paradigma masyarakat perlu diubah, Mas.

  20. hmmm… padahal klo dikapus gak berasa-berasa amat tuh, yg anak IPA dianggep lebih tinggi dari IPS

  21. @DB:
    Lapor langsung ke Presiden, Mas, lewat website-nya 😈 .

    Bakar orang-orang anti-IPS!! 😈

  22. @cynanthia
    halah…saia cuma bercanda, tenang saja *lagi ngasah golok*

    @Mihael “D.B.” Ellinsworth
    hmm…koneksi? jelas ndak funya…….
    munkin bisa dikirim ke koran, wahai baginda?

  23. ah ya, saran saia itu serius lho! butuh tegangan tinggi untuk memikirkan saran itu, dan skarang saia sedang binun, karena tiba-tiba setelah saran tersebudh keluar, saia jadi kehilangan otak saia…
    *nyari di tong samfah*

  24. @Mihael “D.B.” Ellinsworth:
    Saya, terlepas dari segala faktornya, juga orang yang berada di jurusan IPS, lho. :mrgreen:

    Yang saya tahu, orang IPA kebanyakan mengambil kelas “kilat” untuk mengambil pekerjaannya dalam bidang sosial. Dan harus tahu, kalau keluaran Ilmu Alam memang lebih diterima daripada orang – orang Ilmu Sosial. Jadi, akan lebih mungkin apabila orang IPA banyak di luar sana.

    Ah ya… jadi ingat juga. Memang, banyak teman-teman saya di IPA yang kemudian di semester 2 ambil bimbel IPS. Rata-rata buat masuk akuntansi. Tapi kalau kata guru saya, ini pada dasarnya karena kemauan dari murid IPS sendiri untuk survive yang kurang. Soalnya menurut pengalaman mengajar beliau, rata-rata jatuhnya ke universitas swasta atau ke tempat yang tidak jelas sama sekali. 😐

    Kalau saya tilik lagi, sebetulnya stigma negatif dan perilaku negatifnya sendiri datang karena cemoohan dan ejekan dari berbagai sudut. Makanya anak – anak IPS kadang nggak punya motivasi belajar. Guru saja ogah – ogahan begitu, bagaimana mereka (anak IPS) bisa maju ?

    Sehingga kembali lagi kepada sistematika pendidikan Indonesia. :mrgreen:

    Kalau guru yang ogah-ogahan, itu memang gurunya kacau. 😛 Guru ya harus memberikan ilmu dengan benar la…
    Nah, tapi, kalau yang saya lihat justru sebaliknya. Gurunya yang heboh, muridnya yang ogah-ogahan. Dan buruknya ini katanya sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Makanya mungkin saya bilang memang ada faktor internal dari siswa IPSnya sendiri.

    *rada trauma mengingat kelas saya sebagai kelas yang setuju pelajaran Sejarah dijadikan pilihan ganda, bukannya esai 😐 *

  25. Ralat, satu-satunya kelas yang setuju dari 6 kelas (IPA dan IPS).

    *joged-joged*

  26. Jujur, Indonesia butuh lulusan STM/SMK(ga nyambung…)

    Biasanya pas SMA tuh belum bisa nentuin orientasi masa depan…

    Banyak lulusan IPA, masuk ITB…. dan jadi businessman….

  27. *terharu bacanya*

    Bnr2 menyentuh!! T___T

  28. ada ilmu yang tdak bisa dipahami. kecuali oleh yang sudah mengerti. ilmu apa coba

    kami mengundang di :
    http://www.bancakan.wordpress.com
    sebagai tamu kehormatan

  29. debe betul betul jujur ya ^_^
    dulu, sewaktu masih SMA (teteh sih dari SMEA), sempat kepikiran hal begitu juga.

    Waktu itu merasa kok bidang IPA itu lebih keren kayaknya dan mereka itu (anak IPA) lebih pintar, lebih bisa memilih dengan bebas (maksudnya mau ilmu sosial atau eksak lagi) klo kuliah. Dan mereka cenderung bisa dengan mudah memilihnya karena pintarnya itu.

    Tapi klau yang dari IPS kayaknya agak sulit klo memilih yang berbau eksak, karena biasanya mereka juga cenderung ga pede, khawatir engga bisa “ngejar”.

    Tapi ada temen teteh yang dari IPS, dia milihnya Teknik Informatika. Dan sejauh ini baik2 saja. Memang sih awalnya agak pusing dia, dan tidak pede. Tapi pda akhirnya, alhamdulillah, karna dia ga patah semangat, dia bisa juga mempelajarinya dan sampai saat ini baik -baik saja dengan nilai yang lumayan.

    Apalagi teteh lho, wong dari SMEA, ekonomi banget. Boro -boro kenal kimia. Dulu belajar fisika dan biologi juga cuma minimal dan sekarang udah lupa semuanya. Gagap banget deh klo masalah ilmu alam.

    Tapi, menurut teteh sih, setelah lama kuliah dan banyak berinteraksi dengan orang di tempat kerja, kesuksesan nantinya tidak hanya diukur dari itu saja. Memang sistem pendidikan sekarang masih seperti itu. Tapi dari dulu teteh tak pernah terlalu bergantung pada nilai akhir (walaupun ini juga slah satu yang dilihat waktu melamar kerja), yang penting saya bisa belajar lebih banyak.

    Lagipula, masih ada orang2 yang menghargai semangat juang dan kejujuran orang2 yang justru berbeda dan terkesan nekat kok -misalnya dari IPS nekat masuk IT. Atau dari Akunting nekat jadi Programmer. Itu biasanya dihargai juga. Asaln kitanya mau terus belajar dan berkembang sesuai dengan tuntutan dimana kita diberi kesempatan untuk bekerja/menuntut ilmu.

    Maap komen kepanjangan ^_^

  30. Jadi agar tidak terjadi hal sperti itu, maksudnya ada jurusan di SMA yang kesannya lebih keren dan bermutu lebih tinggi otaknya, apakah SMA tidak usah memberlakukan penjurusan saja?

  31. eh, jadi anak jurusan apa yang masuk surga?

  32. Imbasnya memang pas kuliah nanti. Xixixixiii…
    Lihat dan rasakan saja sendiri bagaimana Ilmu Alam, Eksakta, Sains, dan kroco-kroconya nggak bisa dianggap lebih tinggi lagi kayak di SMA…

    Biarpun ada di beberapa institusi perguruan tinggi yang mengeklusifkan diri dengan menerima lulusan IPA hampir di semua jurusan dan lulusan IPS di jurusan yang berkaitan dengan Sosial saja, eh? Tapi… Jika situ kenal mantan saya…

    mengapa orang IPS tidak bisa menjadi Programmer IT ?

    Lha dia sedang bersenang-senang sebagai calon programmer di sebuah perguruan tinggi, padahal lulusan IPS~

  33. Untuk yang nulis artikel ini….

    “Kalau bisa, akses semacam itu juga diberlakukan untuk anak – anak kelas Ilmu Sosial, karena di mata Tuhan, orang seperti saya juga manusia.”

    Anda TUHAN?
    Bagaimana anda beranggapan bahwa dimata tuhan semua manusia sama? Apakah anda seorang TUHAN?

    ========

    Sepertinya ini artikel ini menyudutkan anak-anak IPA. yang satu sisi ingin DIHARGAI dan disisi yang lain ingin DIHORMATI.
    Tak ada yang salah dan tak ada yang benar.
    Daripada berputar-putar dalam satu masalah lebih baik memikirkan setelah lulus bukan memikirkan sebelum lulus seperti masalah “KAMU IPA ATAU IPS?”……

  34. hmm. gimana yah?

    sabar aja dulu, tunggu sampai kuliah. nanti juga berubah kok pandangan kayak begitu, tenang saja… 😎

    :: rozenesia

    Imbasnya memang pas kuliah nanti. Xixixixiii…
    Lihat dan rasakan saja sendiri bagaimana Ilmu Alam, Eksakta, Sains, dan kroco-kroconya nggak bisa dianggap lebih tinggi lagi kayak di SMA…

    indeed. can’t agree more. :mrgreen:

    ~saya anak IPA (dulu)
    ~biasa biasa aja kok :mrgreen:

  35. Untuk yang nulis artikel ini….
    “Kalau bisa, akses semacam itu juga diberlakukan untuk anak – anak kelas Ilmu Sosial, karena di mata Tuhan, orang seperti saya juga manusia.”
    Anda TUHAN?
    Bagaimana anda beranggapan bahwa dimata tuhan semua manusia sama? Apakah anda seorang TUHAN?
    ========
    Sepertinya ini artikel ini menyudutkan anak-anak IPA. yang satu sisi ingin DIHARGAI dan disisi yang lain ingin DIHORMATI.
    Tak ada yang salah dan tak ada yang benar.
    Daripada berputar-putar dalam satu masalah lebih baik memikirkan setelah lulus bukan memikirkan sebelum lulus seperti masalah “KAMU IPA ATAU IPS?”……

    panas banget ni orang…

    Toh kata guru sosiologi:

    Kan nanti anak IPA jadi tukang dan dibayar anak IPS

    bwakakakak

    1. Saya anak IPA
    2. Saya diam-diam tetap mempelajari materi kelas 2 IPS
    3. Untuk sukses, kamu butuh dua-duanya!
    5. sosiologi sangat berharga, sekalipun anda anak IPA

  36. Untuk yang nulis artikel ini….

    “Kalau bisa, akses semacam itu juga diberlakukan untuk anak – anak kelas Ilmu Sosial, karena di mata Tuhan, orang seperti saya juga manusia.”

    Anda TUHAN?
    Bagaimana anda beranggapan bahwa dimata tuhan semua manusia sama? Apakah anda seorang TUHAN?

    ========

    Sepertinya ini artikel ini menyudutkan anak-anak IPA. yang satu sisi ingin DIHARGAI dan disisi yang lain ingin DIHORMATI.
    Tak ada yang salah dan tak ada yang benar.
    Daripada berputar-putar dalam satu masalah lebih baik memikirkan setelah lulus bukan memikirkan sebelum lulus seperti masalah “KAMU IPA ATAU IPS?”……

    ….Bentar, ini ceritanya emang yang nulisnya nggak ngerti atau gimana? Asal tau aja, anak IPS juga ingin dihargai dan dihormati, tau!

    Artikel ini kan sebatas opini, nggak bermaksud menyudutkan anak IPA. Apa Anda juga berpikiran jauh ke depan (mengenai setelah lulus)?

    Asalkan tahu saja, di luar negeri anak-anak bidang sosial tuh anak-anak top, nggak kalah sama anak sains!

  37. Tapi lepas dari semua itu, sebenarnya kesulitan anak-anak IPS juga nggak lepas dari sistem pendidikan di sini sih. Di sini IPS jalan pikirannya nggak berkembang (atau dibuat tidak berkembang oleh sistem pendidikan kita yang bobrok).

  38. Eksklusifme seperti ini sudah menjadi trend dari zaman baheula, bahkan di beberapa negara besar-pun kecenderungan seperti ini yang kerap muncul.

    Secara positif, aku menilai kalau pem-beda-an ini bisa men-seleksi dan men-cipta-kan iklim per-saingan yang meng-hasil-kan (jika seleksi-nya memang benar-benar murni) 😐
    Secara negatif, aku menilai kalau pem-beda-an ini ternyata semakin mem-perlebar jurang ke-tidak percaya-an diri dari bagian yang ter-nyata di-“anak tiri”-kan 😦

    Jadi, aku setuju se-andai-nya jurang ini bisa di-minimalisir bahkan kalau perlu di-hilang-kan.
    Catatan: Aku alumni anak Fisika 😉

  39. Betewe (lagi), sekarang Fakultas Kedokteran ‘kan bisa masuk dari IPS. Asal orangnya mampu. 😛

    Lockon Stratos a.k.a. Tendo Soji:

    5. sosiologi sangat berharga, sekalipun anda anak IPA

    I, for one, support the teaching of Sociology in the science class! 😎
    Sosiologi memang berguna, terutama kalau gurunya juga sudah di jalan yang benar. Saya merasakan manfaatnya. 😎

    ———–

    IMO, siswa IPs sekarang juga masih harus instrospeksi. Soalnya masih ada juga yang ngga bener dan semaunya sendiri, misalnya seperti contoh yang saya alami. Katanya di Qur’an ‘kan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” 😎 *sok agamis*
    Jadi kalau siswa IPS-nya mayoritas masih “gitu-gitu” aja, dan ngga ada intensifikasinya sama sekali dan masih tergantung pada faktor-faktor eksternal, jadi ya nothing happens. :mrgreen:

  40. Oh, untunglah nggak pernah mengalami generasi IPA/IPS, masalahnya saya dulu A1, A2, dan A3. :mrgreen: dan saya termasuk “golongan tengah” alias A2 (Biologi)

    betul kata pak Sawali, penjurusan IPA/IPS itu untuk memudahkan penjurusan ke universitas/dunia kerja nantinya. Yang membuat IPA-IPS jadi seperti itu (seperti cerita DB diatas) itu hanyalah CITRA atau IMAGE dari orang-orang luar yg tidak mengerti saja.

    Terkadang guru juga nggak mengerti dan langsung memberikan cap/label kalau anak IPS itu bandel-bandel atau berprestasi rendah.

    Dan yang paling menyedihkan, terkadang penjurusan ke IPA-IPS juga nggak dilakukan dengan semestinya.

  41. Ah, maaf belum bisa membalas semuanya. Diburu waktu. Marilah kita membahas yang paling kontroversial.

    @ t4rum4

    Anda TUHAN?
    Bagaimana anda beranggapan bahwa dimata tuhan semua manusia sama? Apakah anda seorang TUHAN?

    ….Jadi anda itu spesial, ya ? Punya kekuatan apa sampai – sampai Tuhan memperlakukan anda spesial ? 😕

    Sepertinya ini artikel ini menyudutkan anak-anak IPA. yang satu sisi ingin DIHARGAI dan disisi yang lain ingin DIHORMATI.
    Tak ada yang salah dan tak ada yang benar.
    Daripada berputar-putar dalam satu masalah lebih baik memikirkan setelah lulus bukan memikirkan sebelum lulus seperti masalah “KAMU IPA ATAU IPS?”……

    Lho ? Siapa yang menyudutkan ?

    Saya hanya bilang kalau masalah seperti ini adalah pekerjaan rumah Menteri Pendidikan. Bukannya selama ini yang disudutkan selalu orang IPS ? Nah, saya ingin segera menyeimbangkannya. Apabila anda tidak mau hal itu terjadi, berarti memang orang IPA itu terlalu eksklusif. Hal inilah yang menyebabkan saya ingin membetulkan ini. 😉

  42. Kesimpulan : Baca lagi.

    Artikel seperti saya ini punya banyak bahasa sayap. Jadinya orang awam bingung. 😕

  43. akh… yah. IPA IPS dianggap beda jauhhh…

    hidup di IPA g senyaman itu. kadang pnya pemikiran bwat pindah aja ke IPS. atau bahasa kalo ada.

    Tapi Q pikir masing” jurusan pny klebihan.
    memang IPA di “agung-agungkan” di kalangan orng,
    tapi.. banyak juga orng yg gA sukses di jurusan IPA.

    knp harus ada jurusan yg beda y? knp g pelajarin keduanya…?

    Q sendiri idup di jurusan ipa, yg setiap harinya makan rumus mtk, fisika, kimia,,,

    kesan negatif anak IPS udh sering kliatan. yah, mabal misalnya.. rata” 25% yg hadir di kelas.
    guru sejarah yang ngajar di IPA jg bilang :
    “ko aneh ya, nilai sejarah anak IPS lebih kecil daripada anak IPA?”

    Q sendiri g tau. mungkin karena kesan IPS yg dulunya negatif, terus dibawa-bawa sama penerus ips slanjutnya..
    ga semua anak IPS ngasih kesan negatif. masih ketemu kok anak IPS yang rajin, malaah Lebih bagus drapada nak IPA.

    wktu mw masuk pnjurusan klas 2, Q mnta pendapat org,.
    trus dya bilang : “IPA aja, mau ngapain di IPS?”
    lho? emang ada yg salah di IPS?
    dan akhirnya Q masuk IPA dengan sukses dngan pemaksaan..

    asik jg di IPA ternyata. g semua orang IPA makanin rumus, kerjaanya cmn eksperimen kimia. orng IPA jga masih bisa santai, masih bisa maen,

    YANG pasti. IPA mempelajari Ilmu alam.
    IPS Mempelajari ilmu Sosial.
    bener kan?

  44. Masalahnya begini, sistem pendidikan di kita ini acak-acakan. Di luar negeri, mau IPA kek, mau IPS kek, semuanya sama-sama membangun pola berpikir. Tidak seperti di Indonesia. 😦

  45. Bicara soal IPA-IPS, saya jadi ingat diskusi menarik pas pelajaran Sosiologi.

    Diantara sistem pendidikan dari pemerintah dengan pembelajaran bagi pelajar, mana yang harus dibenahi terlebih dahulu? Manakah yang lebih penting, apakah sistem yang diberikan oleh pemerintah atau cara belajar bagi pelajar itu sendiri? 😉

  46. @ deathlock :

    kalau saya lebih memilih pemerataan pendidikan.

    *sosialis mode ON* 😉

  47. @ bacteria

    Seungguhnya usaha perbaikan persepsi anak Sosial pun perlu diimbangi dengan kedewasaan guru – guru mengenai anak IPS. 😀

    @ Sawali Tuhusetya

    Mungkin sekali apabila citraan anak IPA yang bagus lahir karena pemahaman yang secara de facto lebih sulit daripada anak – anak Sosial.

    @ kamal87

    Sama saja, dong. 😕

    @ Cynanthia

    Diusahakan. 😀

    @ Hoek Soegirang

    Baiklah. Usul yang bagus. 😀

    @ Xaliber von Reginhild

    Berarti ujung – ujungnya suram ya.

    …Ah, itu sih gara – gara tidak ada usaha berarti. 😆

    ..

    ..

    ..

    ..

    Mungkin itulah yang menyebabkan citraan anak IPS menurun.

    @ Lockon Stratos a.k.a. Tendo Soji

    Nah, berarti anak IPA yang sebenarnya ‘tidak tahu masa depan’. *Satir lho* :mrgreen:

    @ Uchiha Miyu

    😀

    @ Muhammad Rachmat

    Menuju ke TKP. 😀

  48. @ eMina

    Nah, sebetulnya saya ingin memperbaiki citraan IPS agar lebih baik dimata Nasional. Tentunya dimulai dari artikel ini dulu. 😀

    Tidak memberlakukan sistem jurusan saya rasa hanya akan berujung pada tindakan bunuh diri, saya khawatir kalau dengan begitu, semua siswa mempunyai kemampuan statis dan monoton. Maka dari itu, hanya perlu perbaikan citraan. 😀

    @ Menggugat Mualaf

    Mana saya tahu… 😀

    @ rozenesia

    Aha. Sebuah pencerahan baru. 😀

    @ yud1

    Sepertinya semua memang ditentukan oleh waktu. 😕

    @ Cynanthia

    …Ditambah dengan stigma orang yang asal – asalan.

    Hoo, iya. Sebetulnya penerapan Ilmu Sosial saya sudah berhasil dengan ada blog ini. 😀

    @ extremusmilitis

    Sebetulnya citraan seperti itu bisa berujung positif asalkan pandangan skeptis seperti itu bisa dihilangkan.

    Ya, manusia memang sulit berubah. 😕

    @ Xaliber von Reginhild

    Meskipun saya anak IPA, saya tidak mau masuk Kedokteran. Mahal.

    @ Pyrrho

    Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya. 😀

    Beruntunglah saya berhasil melawan stigma orang yang berpandangan negatif mengenai jurusan yang saya ambil. 😀

    Ngomon – ngomong, A1/A2/A3 itu apa ?

    @ Q

    Mengapa tidak dipelajari keduanya ? Agar mencpitakan orang dengan life skill yang berbeda ? Meski ada jurusan IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) di beberapa Sekolah, tapi harusnya kita tahu bahwa mempelajari keduanya mungkin akan terdengar sulit. 😉

    —-

    Sekarang, stigma itu mau saya perbaiki. 😀

    @ Cynanthia

    Iya, saya tahu. 😆

    @ Xaliber von Reginhild

    Hohoho, yang pasti saya tidak mau berdebat dengan sistem pendidikan kita yang tiap tahun berubah – ubah terus. Adapun cara pembelajarannya memang masih harus diubah. Tetapi permasalahan yang saya bahas di sini, kebetulan bukan itu. Ini hanya masalah persepsi. 😀

  49. @ DB:

    Nah, berarti anak IPA yang sebenarnya ‘tidak tahu masa depan’. *Satir lho*

    Salah, yang bener banyak yang ga mau tahu…

    Saya sih karena IPA dan IPS dalam diri bak alter ego, jadi sudah punya orientasi(ga terikat IPA/IPS) :mrgreen:

  50. saya anak Ilmu Alam dan [jujur] koneksi saya juga banyak.
    semua itu benernya nggak tergantung dari dimana kita berada.tapi tergantung dari gimana kita bersikap.
    kalo kita berfikir kita negatif, maka negatiflah kita.karena dari diri sendiri aja udh skeptis.
    tapi klo kita befikir klo kita itu positif, bagus, dkk nya. maka baguslah kita.
    apa yg kita pikirkan itu mempengaruhi tindakan.tidakan yang kita lakukan, mempengaruhi orang lain dalam menilai kita.
    apa anda tahu?
    anda adalah produk dari apa yang anda pikirkan.

  51. Hm…

    saya bukan IPA bukan juga IPS
    apalagi Bahasa…

    apakah saya?

  52. lha, rasanya udah dari dulu saya ngomong soal diskriminasi terhadapa non-IPA di Indonesia to Mas?

  53. anak IPS tidak lebih buruk dari anak IPA, masa depan mereka juga sama terjaminnya. coba lihat politikus, ahli keuangan, ahli budaya, dll. banyak yang dari basis IPS. gak harus masuk IPA kalau mau jadi kaya (kalau uang ukurannya). sebenarnya kedua jurusan itu memiliki peluang yang sama besar diberbagai bidang.

    sekedar berbagi. bapakku SMK ambil jurusan bangunan dan mebel, pindah kota, lsnjut ke SMU ambil IPS, sarjana ilmu politik, kerjaannya programer spesialis program2 keuangan dan database. combined.

  54. “Misalnya Bau Rumus untuk anak – anak IPA dan Bau Candi untuk anak – anak IPS”
    saya kurang setuju neh ma nyang ini, kan di IPS da Matematik n akutansinya kan? ithu pake rumus khan?
    tyus di IPA juga da sejarahnya nyang mempelajari Sejarah Hindu-Budha juga(juga mempelajari candi)
    lam kenal bro…

  55. ‘Bau Candi’… *sweatdrops*

    Ah.. kalau di skul saya, perbedaan IPA n IPS nggak terlalu mencolok dalam hal akademik (saya IPS, n proud of it!). Tapi kalau sudah menyangkut jumlah… dari delapan kelas, kelas IPA nya ada 6, sisanya IPS ^^ Jadi kami pada murid ‘bau candi’ hanya berjumlah 53 dari total 200 lebih siswa ^^;;; (angkatan di atas saya lebih parah lagi… cuma 16 siswa!!!)

    Tapi kalau soal nilai akademik, kelas IPS kita juga nggak kalah kok… Kalau soal pelajaran yang ada baik di IPA maupun IPS seperti bahasa Indonesia, Inggris, n kewarganegaraan, anak2 IPS cenderung lebih jago ^^

    Tapi kok ya, frekuensi guru-guru marah paling sering di kelas IPS ya… apakah gerangan…

    Btw, saya mau mengucapkan terimakasih. Tulisan ini sangat keren! Ngasih inspirasi buat karya tulis!
    Makasih!

    ~s&h

  56. IPA-IPS gak ngaruh kok kalo kita emang dari awal sudah berniat teguh untuk berjuang hidup dan berusaha keras, tidak bergantung pada sistem yg sudah terbentuk.

    Bill Gates (Microsoft) dulunya masuk Harvard (Hukum) terus memilih drop-out, berkiprah dibidang IT (programmer), mendirikan Microsoft bareng Paul Allen…
    (http://en.wikipedia.org/wiki/Bill_Gates)

    Sekarang om Gates tinggal ketawa-ketiwi aja…

  57. ipa dan ips itu sama sama ilmu kan gak usah bingung2 milih mana yang lebih baek prestise,dinomor2kan apakah mampu menghalangi semangat belajar dan masa depan kita. dengarlah kata hati anda sehinggaa pilihan anda benar.
    ketrampilan yang perlu sekarang bukan ilmu

  58. Wuihhh bener bgt tuhh mank qt warga IPS ini slalu dianaktirikan bahkan gak dianggap!

    Gimana cara ngehapus stigma itu???
    Ya kembali harus dimulai dari diri qt sendiri.

    Banyak orang yang tidak mengetahui hal-hal positif dari anak IPS dan tidak selamanya IPA lebih baik.

    Thx dh ngebahas ini biar mata orang pada kebuka.

  59. waduh…

    seru bgt ngBhas IA m IS…

    nha skrg lmyan tnang coz akhirnya ada jga org yg pduli dgn khdupan nak IS…

    nha mo k IA tp nha lbih trtarik k IS soal’y thu khdpan akuw bgt…

    sbnr’y klo bleh brpndpat,,
    klo nak IS lbh srius bljr’y,,
    dia psti bkal da di atas nak IA…

    stuju ta??

    hm…
    yg psti baik nak IA maupn IS,,
    zaman skrgmh bnyak yg di slah gnakan..
    ya mngkin sesuai dgn kbutuhan….
    hoho…

  60. jujur, aq cinta banget ma IPS sejak SD, mpe diikutin lmba, hehehehe..

    pas sma aq bingung banget. apalagi pas kelas 2…IPA or IPS??

    cz, di angkatanku nyolok banget perbedaanya… xi ipa ada 10, xi ips ada 2…

    gila g???emg gila skulq…

    aq sebenernya mau ambil jur ips, tapi ga bleh bapakku, eee pas udah masuk n ketrima di IPA malah dibolehin ambil IPS…

    aq bingung, sebenernya mau ambil teknik pertanian n hub intrnasional…

    sumpah gue bingung bgt…

    ada sran g???

    mnurutq emang bsok anak IPS lebih punya masa depan yang cerah, wong di sekolahaq aja kalo ada yg ga lulus mesti dari IPA….

    IPS= Ikatan Pelajar Sukses….

    itu motoku…

  61. Hi, nice post. I have been thinking about this issue,so thanks for writing. I will certainly be subscribing to your blog.

Tinggalkan Balasan ke Hoek Soegirang Batalkan balasan